Lompat ke isi utama

Berita

BAKTI UNTUK IBU DAN PERTIWI

BAKTI UNTUK IBU DAN PERTIWI Oleh : Akso Abi Nur Ilahi

“Ibu jatuh Mas” berita singkat yang masuk lewat aplikasi whatsapp dari gawai di tanganku ini menyentakkanku dari lamunan. Mas Marno, tetangga yang tinggal di sebelah rumah ibu, memberitahukan berita itu. Dalam kurun waktu dua minggu, ini adalah kali ketiga ibu jatuh. Aku tak sempat merespon balik pesan dari mas Marno. Aku bergegas mematikan komputer yang masih menyala di atas meja kerjaku. Berita yang kurang menyenangkan yang baru saja kuterima lewat rapat daring dengan tim bawaslu kabupaten sesaat terlupakan. Keadaan ibu selalu menjadi hal yang paling penting dalam hidupku.

Kupacu motorku agar segera kuketahui bagaimana keadaan ibu. Wanita tercinta itu kini telah semakin renta. Penyakit gula yang telah bertahun-tahun dideritanya semakin mengendalikan ritme kehidupannya. Kondisi ibu semakin hari semakin menurun. Ibu kesulitan berjalan. Beliau harus berjalan lambat-lambat dan berpegangan pada barang-barang  di sepanjang perjalanan dari kamar ke sudut manapun di rumah. Tempo hari ibu jatuh ketika hendak ke kamar kecil. Kejadian yang kedua ibu jatuh setelah dari kamar kecil. Yang kali ini aku belum tahu secara jelas apa yang terjadi. Sebenarnya telah aku buatkan kamar untuk ibu di dekat kamar mandi supaya ibu tidak perlu berjalan jauh ketika hendak ke kamar mandi. Ruangan itu sengaja kubangun dengan atap tinggi agar suhu di dalamnya tidak panas. Tetapi ternyata atap yang tinggi itu membuat ibu tidak nyaman. Ibu merasa takut ketika berbaring dan menatap langit-langit yang menurut ibu terlalu tinggi. Ibu merasa ngeri, membuat ibu sulit memejamkan mata. Seperti dugaanku ibu tetap mendiami kamar lama yang terletak di bagian tengah rumah yang permukaan lantainya lebih rendah daripada permukaan lantai ruangan bagian belakang. Perbedaan tinggi lantai dari ruang tengah ke ruang belakang inilah yang selalu menjadi penyebab ibu jatuh. Pikiran yang berseliweran di kepalaku silih berganti antara keadaan ibu dan  kabar yang aku terima dari rapat daring dengan jajaran bawaslu kabupaten tadi yang juga kurang menyenangkan. Isi rapat tadi memberitahukan bahwa semua kegiatan kepengawasan dihentikan sementara sampai batas waktu yang belum ditentukan. Kami dinon-aktifkan hingga keadaan kembali kondusif. Aku merasa seperti seorang tentara yang siap berperang tetapi tiba-tiba dilucuti senjatanya. Semangat untuk melakukan pembaharuan yang telah membuncah tiba-tiba harus dipadamkan. Aku dan timku sudah menyusun program kerja yang matang agar tugas yang dipercayakan kepada kami ini bisa kami laksanakan sebaik-baiknya. Tapi kemudian langkah kami dihentikan dengan tiba-tiba. Kami merasa kecewa. Tapi apalah arti rasa kecewa kami ini dibandingkan dengan situasi yang memang sedang genting. Kegentingan ini tidak hanya bersifat lokal, tetapi telah mengglobal, menimpa seluruh penduduk bumi. Penyebab semua kekacauan ini adalah pandemi virus corona yang telah menyebabkan tersebarnya wabah corona virus desease 2019 atau yang lebih populer dengan sebutan covid-19. Virus ini menyebar dengan sangat cepat dan telah menyebabkan banyak orang terinfeksi dan beberapa bahkan meninggal dunia. Negara-negara besar di belahan dunia yang lain telah terjangkiti virus ini secara parah. Diawali di kota Wuhan China dan kemudian menyebar secara cepat ke seluruh dunia. Italia adalah negara berikutnya yang mencatat angka besar orang yang terinfeksi virus ini. kemudian Amerika Serikat yang tak kalah banyak jumlah korbannya. Jumlah korban di negara-negara tersebut hampir mendekati ratusan ribu dalam waktu yang sangat singkat, hanya dalam hitungan hari. Fakta ini menyebabkan pemerintah mengambil sikap tegas. Semua aktifitas masyarakat dibatasi. Pemerintah menerapkan kebijakan social distancing yang diimplementasikan dalam bentuk karantina diri. Masyarakat harus tinggal di dalam rumah. Belajar, bekerja dan beribadah di rumah. Mereka tidak diperbolehkan berkerumun. Setiap ada kerumunan dibubarkan oleh aparat. Jam malam bahkan juga diterapkan. Akibatnya beberapa sektor kehidupan menjadi terdampak oleh fenomena wabah ini. sekolah ditutup dan siswanya belajar secara daring dari rumah. Perekonomian menjadi lesu. Pasar-pasar ditutup lebih awal dari biasanya. Para pekerja dianjurkan bekerja dari rumah. Banyak program pemerintah ditunda pelaksanaannya. Dampak yang  paling kurasakan adalah ditundanya pemilukada, karena ada keterlibatanku di dalamnya. Pemilihan Bupati yang sudah dijadwalkan diselenggarakan pada bulan September harus ditunda  pelaksanaannya.  Semua kegiatan yang berkaitan denga pemilukada dihentikan sementara. Dan akupun kini tak berfungsi. Sebenarmya dinon-aktifkannya aku sebagai panwaslu kecamatan untuk semetara waktu ini secara finansial tak membawa dampak yang berarti karena menjadi panwaslu kecamatan bukanlah satu-satunya kegiatanku. Aku memiliki seabreg kegiatan dibidang yang lain. Tetapi eksistensiku di panwaslu ini lebih merupakan persembahanku untuk ibuku tercinta. Banyak hal besar yang sudah aku persembahkan untuk beliau, tetapi aku melihat binar yang paling cemerlang dari sorot mata ibu adalah ketika saat itu aku kabarkan bahwa aku berhasil lolos seleksi panwaslu kecamatan. Saat itu ibu mengatakan bahwa aku telah menjadi orang penting dan ibu sangat bangga. Ingatanku kembali ke beberapa bulan yang lalu. Ketika itu aku memohon restu dari ibu untuk mengikuti seleksi calon panwaslu kecamatan.Ibu bertanya apa itu panwascam. Kuterangkan kepada beliau bahwa tugas kami adalah mengawasi pelaksanaan pemilihan bupati di tingkat kecamatan. Aku berusaha menjelaskannya dengan sesederhana mungkin supaya mudah dipahami oleh ibuku yang sudah sepuh itu. “Ohh, kenapa kok harus diawasi?” tanya beliau lagi. Kali ini sambil menyandarkan tubuh lemahnya ke tembok di belakang beliau duduk. Aku mengelus kaki ibu yang bengkak. “Supaya berhasil Bu pemilunya. Agar semua berjalan dengan lancar tanpa ada masalah, misalnya kecurangan dalam penghitungan suaranya, pencatatan hasil perolehan suaranya, ada politik uang atau tidak. Yah pokoknya mengawasi segala sesuatunya agar memperkecil  kesalahan yang mungkin terjadi.” Ibu menatapku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Politik uang itu apa? Apa yang diberikan kepada kita pagi-pagi sebelum kita nyoblos itu, yang biasanya tidak kamu terima itu? Kamu selalu menyuruhku menolak setiap kali ada orang ngasih amplop kepadaku. Memang kenapa juga ditolak, itu kan rejeki.” Ibu bertanya dengan bersungut-sungut. “Nah iya Bu, betul. Yang disebut politik uang itu ya salah satunya seperti itu. Kalau kita diberi uang seperti itu lalu kita terima, itu sama saja kita menerima uang suap Bu. memangnya Ibu kerso menikmati uang suap. Rejeki itu yang halal Bu, kalau tidak halal ya bukan rejeki namanya, malah tidak berkah, makanya saya melarang ibu menerima uang seperti itu.” Penjelasanku yang sudah panjang lebar itu rupanya belum memuaskan rasa ingin tahu Ibu. Ibu masih menatapku tajam dengan beberapa pertanyaan tersimpan di dalam sorot matanya. “Kalau yang memberi itu memang orang baik terus kita pilih kan tidak masalah. ” sergah ibu. “Ibu, politik uang itu tidak dibenarkan. Itu adalah praktek jual beli suara. Budaya jelek seperti itu harus dihilangkan sampai tidak ada lagi praktek seperti itu dalam proses demokrasi di negara kita ini. Politik uang itu memungkinkan kita memilih pemimpin yang salah, karena kita memilih bukan karena pemimpin itu baik, adil dan amanah, tetapi karena ia telah memberi kita sejumlah uang. Dengan menjual suara kita, sama saja kita tidak peduli dengan kelangsungan hidup bangsa ini di masa depan nanti Bu. sangat mungkin kita dipimpin oleh pemimpin yang dzalim kepada rakyatnya sendiri.” Penjelasanku rupanya mampu menjawab rasa penasaran ibu. Aku ambil tangan kanannya. Kuciumi telapaknya. Kuhirup udara dari telapak tangan ibu. Kutatap matanya dengan penuh pengharapan restu. “Mohon doa restu ya Bu, doakan saya lolos seleksi ini supaya bisa membuat ibu bangga, supaya saya bisa bermanfaat bagi banyak orang .”kutatap matanya yang kini berkaca-kaca. Dielusnya rambutku dengan tangan kirinya. Ditariknya aku untuk dipeluknya. Kurasakan butiran air matanya menetes membasahi keningku yang tenggelam di dadanya. Kami berpelukan beberapa saat. Ibu merenggangkan pelukannya seiring dengan degup jantungnya yang kurasakan semakin teratur.ia memegang kedua pundakku dan menatap jauh ke dalam mataku. Aku menunggu kata-kata yang pasti sesaat lagi meluncur dari bibirnya. “Kalau panwas itu bisa jadi bupati?” pertanyaan yang tiba-tiba meluncur dari bibir ibu sama sekali tak kuduga dan sebetulnya membuatku ingin tertawa keras, tapi sekuat tenaga aku tahan. Oh ibu, begitu besarnya harapanmu untukku. Tapi kata-kata seorang ibu adalah petuah, yang sangat mungkin mendapat ridlo dari Allah. “Tidak ada yang tidak mungkin, Ibu. Pokoknya mohon doakan yang terbaik untuk anakmu ini ya,”kuciumi lagi telapak tangan ibu dengan kemanjaan yang total dari seorang anak. Mengenang masa itu membuat air mata menggenang di pelupuk mata. Betapa kontrasnya situasi waktu itu dengan kenyataan yang kudapatkan siang ini. penonaktifan ini memang hanya bersifat sementara hingga situasi kembali normal. Tetapi tetap saja membawa dampak psikologis yang cukup berpengaruh kepada diriku. Aku seperti kehilangan semangat.Aku akan kehilangan bahan cerita untuk ibuku tentang pekerjaanku sehari-hari. Aku akan kehilangan sorot mata ibu yang penuh rasa ingin tahu ketika mendengarkan cerita-cerita tentang kegiatanku hari itu. Setiap kali aku mengunjungi Ibu, beliau selalu bertanya apakah aku dari kantor kecamatan. Ibu bangga sekali anaknya bisa berkantor di kecamatan, satu kantor dengan bapak camat, yang menurut pemahaman ibu adalah jabatan yang cukup tinggi , setidaknya itu yang terjadi pada saat ibu masih muda dulu. Pak camat pada masa itu berasal dari golongan priyayi. Tidak sembarang orang bisa menjadi camat.Berbeda dengan paradigma di masa kini. Jabatan camat hanya merupakan bagian dari birokrasi pemerintahan. Pak camat bisa berasal dari kelas masyarakat apa saja. Setiap Aparatur Sipil Negara yang ada di lingkungan pemerintah kabupaten yang memenuhi persyaratan dari segi pendidikan dan kepangkatan bisa ditunjuk menjadi camat. Jabatan birokrasi masa kini tak ‘sesangar’ dan ‘sesakral’ dulu. Tapi orang sepuh seperti ibu, mana paham dengan fenomena seperti itu. Lagipula tak ada perlunya juga ibu memahami hal-hal yang sungguh tak penting baginya semacam ini. yang terpenting bagi ibu adalah ibu sehat dan mengetahui bahwa anaknya satu-satunya ini masih memperhatikannya dengan sepenuh hati. Jadi biarlah ibu dengan keasyikan imajinasi yang dibangunnya sendiri. Selama ibu bahagia, apapun yang ibu pikirkan adalah hal terbaik bagi beliau. Sesampai di rumah ibu kudapati Pakdhe, kakak dari ibu tengah asyik dengan ayam-ayamnya. Jari jemarinya menguning  sedang menjejalkan cairan yang berasal dari buntelan kain putih kekuningan ke rongga mulut ayam-ayamnya satu persatu. Dilakukannya hal itu dengan sangat telaten. “Sedang apa Pakdhe?” sapaku pada Pakdhe yang meskipun lebih sepuh dari ibuku tetapi kondisi kesehatannya sangat prima. “Njamoni ayam ini biar nggak kena corona,”jawabnya tanpa mengalihkan perhatiannya dari ayam yang tengah diberinya jamu. Rupanya jamunya itu adalah perasan air dari kunyit yang sebelumnya dihaluskan dengan cara diparut. “Ayam tuh bebas corona, Pakdhe, yang bisa terkena virus corona itu manusia.” Aku memberi penjelasan kepada Pakdheku yang selalu membuatku kagum akan kecerdasannya. Aku percaya kalau untuk masalah ini pakdhe sudah paham. Pakdhe pasti hanya berkelakar saja mengenai ayam yang bisa terinfeksi virus corona. Pakdhe memang selalu merawat ayam-ayamnya dengan sangat hati-hati. Pakdhe menyayangi mereka dan memperlakukan mereka selayaknya anak-anaknya. Pakdhe tidak pernah mau memakan opor ayam dari ayam peliharaannya, nggak tega, katanya. Tetapi Pakdhe tidak pernah merasa sayang memberikan ayamnya kepada ibu ketika ibu ingin dahar opor ayam. Ketika sayur opor sudah siap, pakdhe selalu menolak berlaukkan daging hewan piaraannya itu. Beliau lebih memilih dahar berlaukkan tempe dan tahu. Pakdheku adalah seorang yang sangat mengagumkan. Sosoknya sangat sederhana dan menyejukkan. Setiap hari kegiatan pakdhe adalah menjajakan es krim keliling menggunakan sepeda motor pemberian dariku. Hasil berdagangnya ditabungnya dengan seksama. Paling tidak sebulan sekali pakdhe pergi entah kemana dan pulang dengan membawa beberapa buku di dalam tasnya. Kalau kutanya darimana jawabnya pasti dari kota. Tak jelas yang dimaksudkan pakdhe itu kota mana. Pakdhe suka mengoleksi buku agama. Setiap hari pakdhe selalu disibukkan dengan membaca buku-bukunya itu. Membaca telah membentuk pakdhe menjadi sosok yang pendiamdan kadang berperilaku ‘aneh’. Setidaknya demikian menurut beberapa orang. Kalau menurutku pakdhe sama sekali tidak aneh. Pakdhe sedang mepraktekkan ilmu dari buku-buku bacaannya yang kebanyakan berisi tentang pedoman hidup menurut Nabi junjungannya. Setiap pagi setelah sholat shubuh berjamaah di mushola dekat rumah, pakdhe akan menyapu jalan gang dari gerbang hingga ujung gang yang merupakan area pemakaman.Panjang jalan ini kira-kira adalah 200 meteran dan pakdhe menyapunya dengan bersih sekali. Tindakan terpuji pakdhe ini tidak serta merta menuai pujian. Beberapa orang malah mencemoohnya sebagai orang aneh. Pakdhe hanya diam dan terus melanjutkan kegiatannya setiap habis shubuh tersebut. Pakdhe juga sangat penyabar. Pakdhe selalu diam setiap kali ibu memarahinya untuk kesalahankesalahan kecil. Kondisi ibu dengan penyakit gulanya menyebabkan keadaan emosional ibu menjadi tidak stabil. Setiap kali gulanya drop ibu menjadi mudah marah. Karena pakdhe yang tinggal serumah dengan ibu maka pakdhe lah yang selalu menjadi sasaran kemarahan ibu. Tetapi pakdhe menerima kemarahan ibu itu dengan penuh kemakluman. Oh ya aku jadi ingat belum mengembalikan buku yang aku pinjam dari pakdhe. Buku itu adalah buku kumpulan hadist shahih. Jika kondisi ibu sedang sehat, aku akan melanjutkan berbincang dengan pakdhe selama beberapa saat. Paling tidak hingga habis dua batang rokok dan segelas belimbing kopi hitam. Tetapi ibu sedang sakit dan aku harus bergegas menengok ibu. Aku langsung menuju kamar ibu. Beliau sedang terbaring. Tubuh ringkihnya tergolek tak berdaya di atas kasur tipis yang sudah menjadi alas tidurnya selama bertahun-tahun. Belasan  tahun mungkin. Kasur per yang empuk dengan sprei tebal yang lembut di kamar baru di belakang  tak dipakainya. Aku terenyuh memandang tubuh tipis ibu tergolek lemah dengan berselimut kain jarik tua tinggalan nenek. Aku hendak beranjak meninggalkan kamar ketika ibu memanggilku. Ternyata ibu menyadari kehadiranku. “Kamu mau kemana?” Tanya ibu dengan suara lemah. “Oh saya kira ibu sedang sare. Saya takut mengganggu istirahat ibu” kataku menghampirinya. kutarik kursi agar bisa duduk lebih dekat dengan ibu.“Tadi Ibu jatuh darimana Bu? Bagaimana kejadiannya? ”tanyaku dengan 90% kekhawatiran dan 10%  rasa gemas karena ibu keras kepala. “Jatuh disitu” tangan ibu menunjuk ke arah pintu tempat dimana biasanya ibu jatuh. “Mulai hari ini ibu harus pindah sarenya ke kamar belakang. Nanti saya tutup  pakai apalah supaya langit-langit kamarnya tidak terlalu tinggi, supaya Ibu merasa nyaman. Kali ini ibu harus kersa ya Bu.” “Iya, ayo Ibu dipindah sekarang.” Ibu sudah hendak bangkit dari rebahannya. “Ibu tunggu sebentar, saya bersihkan dulu kamarnya ya.” Aku segera menuju kamar belakang dan membersihkannya. Kemudian aku angkat Ibu untuk dipindahkan kesana. Ibu berjanji untuk tidak pindah kamar lagi karena setiap kali beliau jatuh beliau selalu membuatku repot. Beliau khawatir pekerjaanku terganggu. Ibu juga mengatakan tidak masalah dengan atap yang tinggi. Dengan menempati kamar itu setiap hari ibu yakin lama-lama akan terbiasa. “Tak perlu kau tutup bagian atas tempat tidurku dengan kain atau apa, aku tidak apa-apa, nanti juga terbiasa.” Ujarnya. “Baiklah,Bu.” “Bagaimana pekerjaanmu?” seperti biasanya ibu menanyakan tentang pekerjaanku hari itu. Ibu selalu senang mendengarkan ceritaku sambil menikmati makan siang yang aku siapkan untuk beliau. Seringnya ibu meminta dibelikan makan siang di warung. Tapi siang ini beliau minta dimasakkan mie rebus. Sambil menyuapinya aku pun bercerita. Tak seperti biasanya, siang ini terasa lebih berat aku bercerita. Tentu saja aku tak akan menceritakan situasi yang sebenarnya. Justru beratnya karena aku harus mengarang cerita bahwa pekerjaanku baik-baik saja. Aku tak pernah membohongi ibu sebelumnya. Tapi kali ini, demi kebaikan ibu aku  terpaksa melakukannya. Ibu terlihat antusias sekali mendengarkan ceritaku yang sebenarnya biasa-biasa saja itu. wajahnya kini telah lebih bersinar daripada ketika saat aku datang tadi, tak bergairah dan pucat. Tak pernah lupa, ibu selalu bertanya apakah hari ini aku berjumpa dengan Pak Camat, apa saja yang kubicarakan dengan Pak Camat, dan ia sungguh senang mengetahui bahwa aku sekarang berteman dengan orang-orang penting. Aku biarkan ibu mengolah dan mengembangkan sendiri imajinasinya. Yang penting ibu bahagia. Jika sudah begitu, ibu akan merasa tenang dan tertidur dengan pulas. Biasanya aku akan menunggu hingga beliau terbangun di sore hari untuk kemudian pamit pulang. Dulu kau yang menjagaku dan menelan semua pil pahit kehidupan. Kini biarkan peran itu aku yang mengambil alih Bu. ibu cukup beristirahat saja dan mendengarkan cerita-cerita indah dari anakmu ini.
Tag
CERPEN